Sabtu, 28 Juli 2012

DHF (DENGUE HAEMORAGIC FEVER)



DEFINISI :
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).

ETIOLOGI :
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.

PATOFISIOLOGI/ PATOMEKANISME :
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

GEJALA / TANDA :
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi antara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya mulai antara hari 3-6, mula–mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.

DIAGNOSIS :
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a.       Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri
b.      Manifestasi perdarahan :
1.      Uji tourniquet positif
2.      Petekia, purpura, ekimosis
3.      Epistaksis, perdarahan gusi
4.      Hematemesis, melena
c.       Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
d.      Dengan atau tanpa renjatan
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk
e.       Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

KLASIFIKASI :
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
a.       Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji , trombositopenia dan hemokonsentrasi.Åtourniquet
b.      Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain
c.       Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
d.      Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK :
Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat. Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.

DIAGNOSA BANDING :
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
a.       Demam chikunguya
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b.      Demam typhoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relative
c.       Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia
d.      Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi

TERAPI :
Terapi penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
a.       Tirah baring atau istirahat baring.
b.      Diet makan lunak
c.       Minum banyak (2–2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF
d.      Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan
e.       Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
f.       Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari
g.      Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen
h.      Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut
i.        Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder
j.        Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk
k.      Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam

Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
a.       Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
b.      Hematokrit yang cenderung mengikat.

PROGNOSIS :
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF / DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.
Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura, dan asites yang berat serta kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat, yaitu pada waktu muncul komplikasi pada system syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.
Kematian disebabkan banyak factor, antara lain :
-          Keterlambatan diagnosis
-          Keterlambatan diagnosis shock
-          Keterlambatan penanganan shock
-          Shock yang tidak teratasi
-          Kelebihan cairan
-          Kebocoran yang hebat
-          Pendarahan massif
-          Kegagalan banyak organ
-          Ensefalopati
-          Sepsis
-          Kegawatan karena tindakan

PENCEGAHAN :
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
a.       Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF
b.      Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan
c.       Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d.      Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.

Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
a.       Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b.      Tanpa insektisida, caranya adalah :
1.      Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
2.      Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
3.      Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.





DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1996, Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Edisi ketiga, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta

http//www.blogspot.harnawatiaj.com/ASUHAN KEPERAWATAN DHF/

PEMBAGIAN FILUM ARTHROPODA




KELAS
ORDO
FAMILI
GENUS
SPESIES
CRUSTACEA
COPEPODA

Cyclops
C. strenuus
Diaptomus
D. gracilis
DECAPODA

Potamon
P. dehaani
Cambarus
C. virilis
CHILOPODA


Scolopendra
S. subspinipes
DIPLOPODA


Fontaria
F. virginiensis
ARACHNIDA

SCORPIONIDA

Buthus
B. tamulus
Centruroides
C. suffussus
ARANEA

Latrodectus
L. mactans
Loxosceles
L. laeta
ACARI
(IXODOIDEA)
IXODIDAE
Dermacentor
D. andersoni
Rhipicephalus
R. Sanguineus
ACARI
(SARCOPTOIDEA)
ARGASIDAE
Ornithodoros
O. moubata
SARCOPTIDAE
Sarcoptes
S. scabiei
TROMBICULIDAE
Leptotrombidium
L. deliensis
DEMODICIDAE
Demodex
D. folliculorum
PYROGLYPHIDAE
Dermatophagoides
D. pteronyssinus
INSECTA
DIPTERA
CULICIDAE
(Tribus ANOPPHELINI)
Anopheles
An. aconitus
An. sundaicus
An. maculatus
An. subpictus
An. barbirostris
An. vagus
(Tribus CULICINI)
Culex
Cx. quiquesfasciatus
Cx. tritaeniorrhynchus
Cx. bitaenorrhnycus
Cx. annulirostris
Aedes
Ae. aegypti
Ae. albopictus
Ae. togoi
Mansonia
Ma. uniformis
Ma. annulifera
Ma. indiana
Ma. annulata
Ma. dives
Ma. bonneae
Coquillettidia
Cq. crassipes
Tribus TOXO RHYNCHITINI
Toxorhynchites
Tx. amboinensis
Tx. splendens
Tx. inornatus
PHLEBOTOMIDAE
Phlebotomus
P. papatashii
P. longipalpis
SIMULIDAE
Simulium
S. damnosum
S. metalicum
TABANIDAE
Tabanus
T. striatus
Crysops
C. dimidiata
MUSCIDAE
Musca
M. domestica
Glossina
G. morsitans
G. palpalis
CALLIPHORIDAE
Chrysomyia
C. bezziana
SARCOPHAGIDAE
Wohlfartia
W. magnifica
SPHONAPTERA

Xenopsylla
X. cheopis
Neopsylla
N. sondaica
Stivalius
S. cognatus
Pulex
P. irritans
Tunga
T. penetrans
Ctenocephalides
C. canis
C. felis
ANOPLURA
PEDICULIDAE
Pediculus
P. humanis capitis
P. humanis corporis
Phthirus
P. pubis
HEMIPTERA
REDUVIIDAE
Triatoma
T. rubrofasciata
Rhodnius
R. prolixus
CIMICIDAE
Cimex
C. hemipterus
C. lectularis
ORTHOPTERA
(DYCTIOPTERA)

Blatella
B. germanica
Blatta
B. orientalis
Periplaneta
P. americanus
LEPIDOPTERA

Lagoa
L. crispata
Megalophyge
M. opercularis
Anaphe
A. infracta
Parasa
P. hilarata
COLEOPTERA

Lytta
L. vesicatoria
Tenebrio
T. molitor
STAPHYLINIDAE
Paederus
P. sabaeus
HYMENOPTER

Paraponera
P. clavata